Presiden Pilihan Media

| Minggu, 06 Juli 2014
Jika kita mengingat isi dari UU pasal 3 no. 40 tahun 1999 yang pernah dicetuskan oleh B.J. Habibie, tentu kita tahu seberapa pentingnya fungsi dari sebuah media massa atau pers. Memegang amanat sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan fungsi kontrol tidaklah gampang, terutama dalam memaksimalkan fungsinya sebagai pendidik dan pengontrol masyarakat. Seiring perkembangan jaman, kebebasan pers semakin mudah diraih. Pasca-pemerintahan Orde Baru, media-media massa baik itu media cetak maupun media elektronik bisa bernafas lega karena mereka tidak lagi dikekang. Bahkan di Amerika Serikat, negara adidaya, media merupakan lawan yang paling ditakuti oleh para politisi-politisi maupun publik figur. Lalu, yang menjadi pertanyaan terbesar masyarakat Indonesia saat ini adalah, apakah pada era seperti ini media massa tetap berjalan sesuai prinsipnya?

Memasuki tahun-tahun pemilu tentu banyak politisi maupun rakyat Indonesia yang menantikan pesta rakyat ini. Sebagai politisi yang diamanatkan untuk mengabdi pada rakyat, momen seperti inilah yang mereka tunggu-tunggu, agar bisa terpilih untuk duduk di bangku mewah, cara apapun akan mereka lakukan. Khususnya pada pemilu presiden tahun 2014 ini. Tidaklah mudah menarik hati rakyat, untuk itu diperlukan strategi yang hebat. Salah satunya dengan menggaet sebuah media. Tidak jauh berbeda dengan peperangan-peperangan di masa lampau, mayoritas yang menang adalah yang menggunakan senjata canggih dengan peluru yang tak ada habis. Masa sekarang ini, yang membedakan hanyalah senjata dan pelurunya. Senjata sebuah kamera (media informasi) bisa memenangkan peperangan, asalkan pelurunya atau yang disebut uangnya melimpah pula. Jelas sekali terlihat pada beberapa media cetak, media online, ataupun stasiun televisi di Indonesia saat ini. Seakan-akan sudah melupakan tujuan utamanya, mereka meninggikan jagoannya masing-masing dan menjatuhkan lawan dari jagoannya pula. Menampilkan isi berita yang “kebanyakan porsi”. Ya, porsi berita yang ditampilkan tidak seimbang. Media yang seharusnya bersikap netral malah membingungkan rakyat. Tidak mampu memenuhi kebutuhan hati nurani masyarakatnya. Bahkan lebih parahnya lagi, mereka berhasil merasuki pemikiran setiap kepala masyarakat Indonesia dengan berita-berita mereka. Dan alhasil, saat ini kita telah melihat bukan hanya ayam sabungan saja yang bisa ganas dengan lawannya ketika disabung. Masyarkat Indonesia saat ini pun juga bisa melawan dengan ganas apabila ada yang berbeda pendapat dengan mereka. Lalu, siapa yang harus kita percaya? Sebagai seorang masyarakat yang cerdas, tentu mereka tidak akan menjadikan informasi-informasi di media massa sekarang ini sebagai patokan bahwa mereka telah memantapkan hati untuk memilih siapa.


Berbicara mengenai keterlibatan media dalam pilpres tahun ini, tentu ada alasan kuat mengapa mereka harus bersikap seperti itu. Tidak patuh majikan tidak digaji. Itu bisa menggambarkan keironisan media massa Indonesia. Ketika media massa dipimpin oleh seorang politisi, ini menjadi sangat berbahaya. Apalagi ketika pimpinan ini juga memihak ke salah satu pihak, tamatlah sudah fungsi-fungsi media massa sebagaimana tertulis di UUD Republik Indonesia maupun menurut para ahli. Jadilah masyarakat yang mampu memilah-milah informasi yang masuk ke dalam diri kita. (rymnd)

0 tanggapan:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲