Jika kita mengingat isi dari UU pasal 3 no. 40 tahun 1999
yang pernah dicetuskan oleh B.J. Habibie, tentu kita tahu seberapa pentingnya
fungsi dari sebuah media massa atau pers. Memegang amanat sebagai media
informasi, pendidikan, hiburan, dan fungsi kontrol tidaklah gampang, terutama
dalam memaksimalkan fungsinya sebagai pendidik dan pengontrol masyarakat.
Seiring perkembangan jaman, kebebasan pers semakin mudah diraih.
Pasca-pemerintahan Orde Baru, media-media massa baik itu media cetak maupun
media elektronik bisa bernafas lega karena mereka tidak lagi dikekang. Bahkan
di Amerika Serikat, negara adidaya, media merupakan lawan yang paling ditakuti
oleh para politisi-politisi maupun publik figur. Lalu, yang menjadi pertanyaan
terbesar masyarakat Indonesia saat ini adalah, apakah pada era seperti ini
media massa tetap berjalan sesuai prinsipnya?
Memasuki tahun-tahun pemilu tentu banyak politisi maupun
rakyat Indonesia yang menantikan pesta rakyat ini. Sebagai politisi yang
diamanatkan untuk mengabdi pada rakyat, momen seperti inilah yang mereka
tunggu-tunggu, agar bisa terpilih untuk duduk di bangku mewah, cara apapun akan
mereka lakukan. Khususnya pada pemilu presiden tahun 2014 ini. Tidaklah mudah
menarik hati rakyat, untuk itu diperlukan strategi yang hebat. Salah satunya
dengan menggaet sebuah media. Tidak jauh berbeda dengan peperangan-peperangan
di masa lampau, mayoritas yang menang adalah yang menggunakan senjata canggih
dengan peluru yang tak ada habis. Masa sekarang ini, yang membedakan hanyalah senjata
dan pelurunya. Senjata sebuah kamera (media informasi) bisa memenangkan
peperangan, asalkan pelurunya atau yang disebut uangnya melimpah pula. Jelas
sekali terlihat pada beberapa media cetak, media online, ataupun stasiun
televisi di Indonesia saat ini. Seakan-akan sudah melupakan tujuan utamanya,
mereka meninggikan jagoannya masing-masing dan menjatuhkan lawan dari jagoannya
pula. Menampilkan isi berita yang “kebanyakan porsi”. Ya, porsi berita yang
ditampilkan tidak seimbang. Media yang seharusnya bersikap netral malah
membingungkan rakyat. Tidak mampu memenuhi kebutuhan hati nurani masyarakatnya.
Bahkan lebih parahnya lagi, mereka berhasil merasuki pemikiran setiap kepala
masyarakat Indonesia dengan berita-berita mereka. Dan alhasil, saat ini kita telah
melihat bukan hanya ayam sabungan saja yang bisa ganas dengan lawannya ketika
disabung. Masyarkat Indonesia saat ini pun juga bisa melawan dengan ganas
apabila ada yang berbeda pendapat dengan mereka. Lalu, siapa yang harus kita
percaya? Sebagai seorang masyarakat yang cerdas, tentu mereka tidak akan
menjadikan informasi-informasi di media massa sekarang ini sebagai patokan
bahwa mereka telah memantapkan hati untuk memilih siapa.
Berbicara mengenai keterlibatan media dalam pilpres tahun
ini, tentu ada alasan kuat mengapa mereka harus bersikap seperti itu. Tidak
patuh majikan tidak digaji. Itu bisa menggambarkan keironisan media massa
Indonesia. Ketika media massa dipimpin oleh seorang politisi, ini menjadi
sangat berbahaya. Apalagi ketika pimpinan ini juga memihak ke salah satu pihak,
tamatlah sudah fungsi-fungsi media massa sebagaimana tertulis di UUD Republik
Indonesia maupun menurut para ahli. Jadilah masyarakat yang mampu memilah-milah
informasi yang masuk ke dalam diri kita. (rymnd)
0 tanggapan:
Posting Komentar